”The distance from failure to
success is never longer than the bridge of hope.”
Aku
memulai sesuatu dengan keinginaan. Walaupun, terlihat tidak ada keinginan yang
tampak. Semua. Sesungguhnya, memiliki tujuan yang didasarkan pada keinginan.
Melalui itu aku bisa sampai pada tujuan. Apabila, caraku untuk mencapai tujuan
itu bisa berharga bagi orang lain. Itu bonus.
Semua
berawal dari kecintaanku pada musik. Tidak sengaja aku mendengarkan salah satu
lagu dari sebuah boyband Korea. Pada
waktu itu aku sama sekali tidak tertarik dengan semua yang berbau ‘mereka’.
Tapi, sekali mendengarkan lagu mereka. Telingaku jatuh suka pada mereka. Ada
yang pernah berkata, “Kalau kita sudah suka sesuatu. Sesuatu itu akan terlihat
bagus dari beberapa sisi.” Ternyata benar, aku suka mereka. Mereka terlihat baik
di mataku. Aku ingin menyukai lebih dalam. Membuka mata lebih lebar. Mendengar
lebih banyak suara. Mengucapkan apa yang biasa mereka ucapkan. Rasa suka ku
menjadi sebuah keinginan. Lalu, melanjutkan pikiran untuk memadupadankan satu
tujuan. Itulah awal mula aku mengikuti hal itu.
Kursus
Bahasa Korea.
Hari
itu cerah sekali, 1 Juli 2013. Hari kursus pertamaku. Aku sering berpindah ke
tempat baru. Di tempat baru biasanya tidak ada masalah. Tapi, aku benci tempat baru dan orang baru.
Bosan beradaptasi. Itu sifat buruk, aku tahu. Kali ini tidak semuanya baru. Aku
memiliki dua teman kursus yang sudah aku kenal sejak SMA. Dina dan Syifa. Kami
berencana datang lebih awal. Terlalu
awal, tepatnya. Tempat kursus kami berada di lantai tujuh gedung Fakultas Ilmu
Budaya. Waktu itu sepi sekali. Hanya ada satu orang perempuan yang duduk di
lantai tepat depan kelas kursus. Perempuan itu menguncir kuda rambutnya tampak
sedang sibuk mengotak-atik laptop. Kami memutuskan untuk berkeliling sebentar
karena kelas masih kosong. Tidak lama kemudian, ada seseorang memasuki kelas.
Kami kira, ia adalah guru kursus bahasa. Aku menanyakan apa benar kelas itu
adala kelas Bahasa Korea. Ternyata, ia guru Bahasa Mandarin yang salah kelas.
Seharusnya kelasnya berada di sebelah kami. Ia tergesa-gesa mengecek kertasnya,
kami diminta turun kebawah untuk mengambil kunci sebelah. Awalnya, kami hanya
bisa melongo. Tanpa tahu siapa kami, seseorang itu meminta turun ke lantai satu
dan kembali ke lantai tujuh. Padahal kelas kami sudah dimulai. Hebat. Aku,
Dina, dan Syifa terlambat.
Perempuan
berkuncir kuda yang datang sangat awal bersama kami ternyata teman sekelas.
Namanya Kristin. Dia lebih tua dari ku, aku memanggilnya Mbak Kristin. Kelas
kami kebanyakan perempuan, hanya dua murid laki-laki. Totalnya, ada tiga
laki-laki ditambah dengan guru kursus yang juga laki-laki. Pertemuan pertama
kami diabsen satu-persatu dengan menyebutkan nama panggilan. Kebiasaanku yang susah
mengingat, membutuhkan banyak waktu untuk menghapalkan nama mereka.
Pelajaran
dimulai. Kami diperkenalkan dengan hangul,
lebih tepatnya itu huruf Korea yang bisa
kalian lihat. Aku yang waktu itu masih terlalu bingung akan melakukan apa.
Tentu saja, kesulitan untuk menghapalkan. Pelajaran yang kami dapat masih
dasar. Seperti menulis huruf Korea, cara memperkenalkan diri, dan bagaimana
berbicara dengan kalimat singkat dalam Bahasa Korea.
Saat
mempelajari angka Cina seonsaengnim
memberikan PR untuk mengapalkan nomer telepon. Pembelajaran lebih didekatkan
dengan apa yang ada disekitar kami. Kegiatan sehari-hari. Tidak terlalu sulit
sebenarnya hanya butuh ketekunan serta keinginan untuk belajar. Sudah beberapa
hari sejak perkenalan pertama ku dengan teman-teman satu kelas kursus. Tetap
saja terasa canggung. Mungkin, disebabkan keanekaragaman rutinitas kami atau
perbedaan usia. Ada rasa sungkan untuk
menyapa kakak-kakak teman kursus terlebih dahulu.
Ternyata
kegiatan belajar kami tidak hanya di dalam kelas. Seonsaengnim mengundang kami untuk belajar memasak makanan Korea di
rumahnya. Kegiatan yang menyenangkan. Jarang-jarangkan bisa makan, makanan
Korea yang dimasak langsung oleh orang
Korea hehehe. Acara itu diadakan seusai buka puasa. Ya, memang bertepatan pada
bulan puasa. Aku, Dina, dan Syifa yang notabennya harus menempuh jarak jauh
untuk sampai ke rumah seonsaengnim
memutuskan untuk beruka puasa di area kampus. Jaga-jaga agar tidak terlambat.
Aku, Dina, dan Syifa dengan suka cita merencanakan acara buka puasa kami. Waktu
itu tempat kami berbuka puasa masih sepi. Kami sengaja datang di McDonald’s
(MCD) lebih awal. Kami kira MCD akan ramai, ternyata tidak. Sekali buka puasa
bersama harus dengan menu yang istimewa. Oke. Aku, Dina, dan Syifa memesan
makanan yang seharusnya ditujukan untuk anak-anak. Ya, kami memang masih
anak-anak tapi, umur kami sudah 18+. Jadi, makanan itu berhadiah mainan tarik
ulur yang dengan bangganya kami mainkan sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Ternyata, ada anak kecil yang juga memesan makanan dengan bonus mainan.
Akhirnya… Aku, Dina, Syifa, dan anak kecil itu berlomba memainkan mainan tarik
ulur secara tersirat. Kami berlomba, siapa yang lebih kekanakan, sebenarnya.
Buku kursus dan mainan dari McDonald's
Sesuai
rencana, setelah berbuka puasa bersama kami langsung menuju rumah seonsaengnim. Tepat, kami tidak
terlambat. Acara memasak pun dimulai. Aku lupa nama makanannya apa saja. Satu
yang aku ingat Gimbab. Satu persatu dari kami, sekitar delapan belas orang
mencoba untuk membuat kimbab lalu memotongnya. Bagian memotong aku tidak ikut.
Waktu itu, aku sudah sibuk makan dengan lahap entah kimbab buatan siapa. Acara
memasak kami lebih terkesan seperti acara lawakan. Kami saling menyahut candaan
yang sebenarnya jauh dari penting. Aku sangat yakin, seonsaengnim merasa tidak mengerti apa yang kami bicarakan dalam
beberapa hal. Acara belajar memasak makanan Korea kelas kami, diakhiri dengan
acara berfoto serta kecanggungan yang sudah melunak. Oh ya, aku sangat kenyang
waktu itu. Perutku hampir meledak.
Proses membuat Gimbab
Ini Gimbab buatan kami hehe :-D
Waktu pelajaran memasak makanan Korea
Hari-hari
berikutnya kursus berjalan dengan menyenangkan. Aku sering terlambat. Malam
hari aku sering bermain game sampai pagi. Siangnya tertidur. Terlambat kursus
hal yang wajar. Kebiasaan buruk, oke aku tahu. Suasana kelas mencair setelah
acara memasak. Kami lebih akrab dan bisa saling bercanda. Setiap akhir pecan
kami diberikan PR oleh seonsaengnim
entah itu menonton drama, mendengarkan lagu Korea, atau menuliskan kegiatan
kami seharian selama liburan. Suasana belajar di kelas bertambah menarik saat
kami belajar mata uang Korea. Kami juga bermain dengan kartu UNO. Siapa yang
bisa menang menebak angka akan mendapatkan uang
Korea. Ya, benar aku kalah. Kecepatan saraf motorikku tidak sesuai dengan keinginanku.
Ah.
Minggu
berikutnya kami mendapatkan pelajaran di luar kelas lagi. Kali ini, kami satu
kelas akan berfoto dengan Hanbok (baju adat Korea). Sekali lagi, aku tertarik.
Ini pertama kalinya. Seonsaengnim
menjelaskan bagaimana cara memakai baju itu. Semua mendengarkan dengan penuh
minat termasuk orang disekitar kami yang mengawasi kami dengan tatapan
penasaran. Asal kalian tahu, kami berfoto di depan Rektorat. Oke, benar di
depan rektorat. Hahaha. Terlena dengan baju itu yang melekat di tubuhku, aku
sampai lupa untuk melepasnya. Sudah banyak foto yang terkumpul.
Ini kami berfoto di depan rektorat
Berfoto dengan Hanbok
Dua
kegiatan di luar kelas yang direncanakan seonsaengnim
kali ini berganti. Kami muridnya merencanakan acara buka puasa bersama. Acara
buka puasa saat itu di rumah Mbak Anisa. Makanan yang datang sangat banyak.
Oke, menyiapkan perut untuk memasukkan semua makanan ke dalam perut membutuhkan
keahlian khusus, asal kalian tahu. Mbak Kristin yang saat itu membawa
pudding yang sangat enak. Membuatku
berpikir, siapapun yang menjadi suami Mbak Kristin nanti pasti sangat
beruntung. Ya, beruntung bisa dibuatkan pudding setiap hari. Selesai makan,
kami bermain. Permainan seputar pelajaran Bahasa Korea yang sudah kami dapat.
Demi apapun, sejak awal aku sudah meramalkan aku tidak akan menang. Kekalahanku
membuat aku sadar kalau ujian akhir kursus Bahasa Korea sebentar lagi dan aku…
masih terpesona dengan game di
laptop. Oke. Aku harus belajar. Dina yang memang terlihat pintar ternyata
memang pintar. Dina mendapatkan hadiah. Bahkan, dia menang disetiap permainan.
Dina, tau tidak? Aku iri. Kamu pintar. Yah.
Buka puasa bersama di rumah Mbak Anisa
Tidak
terasa kursus Bahasa Korea sudah berada diujung pertemuan. Kami sibuk
mempersiapkan materi-materi yang harus
kami pelajari untuk ujian. Hari ujian tiba, aku hampir saja ketiduran sewaktu
mengerjakan soal. Bukan karena soalnya mudah tapi, aku terlalu banyak belajar.
Pengecualian untuk malam sebelum ujian, aku belajar. Iya, belajar.
Kami
merasa sedih harus meinggalkan kelas kursus Bahasa Korea. Kegiatan yang
menyenangkan, teman baru dan pengalaman baru. Sepulang ujian kami masih sempat
foto. Paling tidak untuk mencetak beberapa kenangan.
Foto setelah ujian
Beberapa
minggu lalu, kami mengadakan acara perpisahan untuk Mbak Kristin. Dia
melanjutkan kuliah S2 di Korea Selatan.
Beruntung sekali. Acara perpisahan itu lebih seperti makan malam bersama
ditambah dengan game. Mbak Aries dan
Mbak Febri merencanakan untuk membuat permainan ‘Ala 17 Agustusan’. Permainan
ini seperti lomba mengambil kelereng dengan sumpit, berjalan dengan balon,
lomba memasukkan pensil dalam botol, dan lomba balap kelereng. Aku tidak bisa
menceritakan banyak tentang acara kali ini karena aku belum mendapatkan
foto-foto kami pada waktu itu. Pokoknya, aku menjadi juara dua lomba balap
kelereng. Cukup bangga, paling tidak aku punya bakat dalam lomba balap
kelereng. Hehe.
Mengenal
budaya lain merupakan pengalaman yang menarik. Selain belajar bahasa Korea. Aku
juga belajar tentang kebudayaan Korea. Mungkin terlalu awal untuk mencintai
sesuatu tapi, mengenal sesuatu itu lebih dalam membuatku memiliki dua pilihan
menyukai atau membenci. Menyukai kebudayaan suatu bangsa lain, bukan berarti
kita tidak menyukai kebudayaan bangsa sendiri. Bukan. Mengetahui kebudayaan
orang lain. Membuat ku beajar satu pola pemikiran yang berbeda. Bagaimana,
sesuatu yang terlihat benar oleh kita sebenarnya, tidak selalu benar. Dalam
teori komunikasi ada yang dinamakan etnosentrisme.
Kecenderungan untuk mengevaluasi nilai, kepercayaan, dan perilaku sendiri
sebagai lebih baik, lebih logis, dan lebih wajar dari kultur lain (Devito,
Joseph). Secara tidak sadar aku akan membandingkan kebudayaan yang sudah aku
kenal sejak kecil dengan yang baru aku tahu. Sebenarnya tidak ada yang lebih
salah, lebih benar, lebih baik, atau lebih buruk. Tergantung aku dapat melihat
dari sisi mana.
Aku
rasa cukup catatan ku kali ini. Aku bisa membuat bosan kalian yang membaca jika
aku terus mengetik. Sekali, aku menceritakan sesuatu akan terlihat sangat
panjang. Aku penasaran, apa ini bakat? Atau hanya kesukaanku membual? Haha.
Entahlah, yang pasti aku sangat menyukai menulis dan bercerita. Sampai jumpa,
aku akan memperbarui catatan ini apabila ada potongan ingatan yang muncul,
Terimakasih.
With love, Titiskw
NB:
- Seonsaengnim terimakasih sudah mengajarkan beberapa hal untuk kami.
- Kakak-kakak satu kelas, semoga kita dapat terus berkomunikasi dan terimakasih sudah mau berteman denganku.
- Kak Kristin, semangat! Aku juga ingin ke Korea tapi, aku cuma berlibur. Hehe. Doakan aku bisa menyusul (berlibur kesana)
- Aku mengambil foto-foto ini yang memotret Mas Hamam. Terimakasih.